PojokCyber.com – Datuk Seri Dr. Salleh Said
Keruak, Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia, menyatakan bahwa rakyat
Malaysia lebih memilih kecepatan internet yang lebih lambat.
Sebagaimana dikutip PojokCyber.com dari KompasTekno
dari lansiran berita AsiaOne, pada hari Rabu (30/9/2015), netizen di negara Malaysia
lebih memilih layanan internet berkecepatan yang tidak terlalu kencang asalkan murah,
daripada memilih akses internet dengan kecepatan tinggi tetapi harus membayar
lebih.
Ilustrasi internet |
Menteri Komunikasi Salleh mengungkapkan hal
tersebut, setelah sebelumnya dia dikritik oleh Lim Kit Siang, seorang anggota parlemen
Malaysia, melalui blog pribadi-nya pada hari Minggu (27/9/2015) yang lalu.
Lim, dalam blog pribadinya itu, menuliskan
bahwa Malaysia membutuhkan Menteri Komunikasi yang mengerti betul tentang
permasalahn infrastruktur internet yang buruk di negara tersebut.
Lim Kit Siang, dengan merujuk pada survey yang
dilakukan oleh Akamai Technologies, mengungkapkan bahwa Malaysia berada diurutan
70 ranking dunia dalam hal kecepatan internet, di bawah negara Thailand dan Sri
Lanka.
Survei Akamai tersebut menilai bahwa negara Malaysia
memiliki kecepatan internet rata-rata sebesar 5,0 Mbps, dimana nilai tersebut
di bawah negara Sri Lanka yang sedikit lebih cepat, yaitu 5,3 Mbps.
Lim Kit Siang yang merupakan ketua Partai
Tindakan Demokratik (Democratic Action Party/DAP) itu, mengkritik pula adopsi
broadband di Malaysia yang rendah jika dibandingkan dengan negara tetangganya,
Singapura.
Dalam hal adopsi broadband atau internet cepat,
negara Malaysia berada di urutan 72 dunia. Penetrasi broadband di negara ini baru
sekitar 55 persen dari keseluruhan populasi penduduknya yang memiliki akses
internet di atas 4 Mbps.
Tanggapan Menteri Salleh
Menteri Salleh pun, menanggapi kritikan yang
dilontarkan oleh Lim Kit Siang tersebut, menyamakan komplain Lim dengan
komplain yang dikeluhkan oleh para pengguna internet di Inggris, negara dengan
peringkat ke-16 dalam hal kecepatan internet, diantara negara-negara Eropa lainnya.
Menteri Salleh berdalih, "Inggris saja
diperkirakan butuh biaya 200 miliar Ringgit untuk meningkatkan infrastrukturnya."
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah,
apakah para pengguna internet di negara Inggris itu mau kalau biaya yang besar tersebut
hanya diperguankan untuk memperbaiki kondisi internet saja, alih-alih untuk membangun
infrastruktur lain, seperti jalan raya, energi, rel kereta, rel kereta, dan
sebagainya.
Malaysia, Menurut Menteri Salleh, bisa saja
mendongkrak kecepatan internet di negaranya sampai katakanlah kecepatan 5 Mbps
dan memaksa warga negaranya untuk membeli paket internet yang cepat tersebut.
"Namun itu butuh biaya yang tinggi pula,
dan internet hanya akan dinikmati oleh mereka yang mampu membayar mahal
saja," terang Salleh.
Menurut Salleh, pemerintah Malaysia bisa saja
membuat paket internet dengan kecepatan hingga 20 Mbps, tetapi kebanyakan
rakyat Malaysia tidak akan memanfaatkannya secara maksimal dan akan lebih
memilih internet dengan kecepatan lebih lambat tetapi harganya masih bisa terjangkau.
"Yang ditulis Lim di blog-nya hanya soal
kecepatan, sementara pembangunan internet di Malaysia fokus pada kecepatan,
jangkauan, dan daya beli," Salleh menegaskan.
Pada tahun 2020 mendatang, Malaysia sendiri telah
menargetkan paling sedikit 95 persen rakyat Malaysia telah bisa terhubung
dengan akses internet, serta 50 persen penghuni perkotaan dan 20 persen penghuni
di wilayah pedesaan memiliki koneksi internet broadband 100 Mbps.
Sumber: http://tekno.kompas.com/